Senin, 28 November 2016

Review: Wadjda


Tahun rilis: 2012
Sutradara: Haifaa Al-Mansour
Bintang: Waad Mohammed, Reem Abdullah, Abdulrahman  Al-Gohani, Sultan Al-Assaf
My rate: 5/5

Wadjda adalah film yang penting dari berbagai sudut pandang, lepas dari kisahnya yang nampak sederhana. Ini adalah film pertama yang disutradai wanita Arab Saudi; fakta yang mencengangkan terutama ketika mengingat bahwa film ini juga disyuting sepenuhnya di negara yang sama. Lewat berbagai kesulitan dan hambatan yang muncul selama proses syuting, Haifaa Al-Mansour berhasil "menyingkap tabir" nyaris mistis yang melingkupi tanah airnya serta (terutama) para wanitanya, lewat kisah sederhana yang secara mengejutkan berhasil menabrak semua prasangka penonton di berbagai negara. 

Wadjda (Waad Mohammed) adalah gadis kecil yang tidak biasa. Di bawah baju panjang hitam dan kerudungnya, dia mengenakan celana jins, memilih sepatu keds butut untuk ke sekolah ketimbang sepatu datar feminin seperti teman-temannya, dan secara terang-terangan bersahabat dengan anak lelaki, Abdullah (Abdulrahman Al-Gohani). Wadjda tinggal bersama ibunya (Reem Abdullah), seorang wanita karir yang selalu berusaha menyeimbangkan diri antara pekerjaan dan mengurus keluarga, namun diam-diam selalu khawatir akan kemungkinan suaminya yang jarang di rumah itu menikah lagi karena dia tak bisa memberinya anak lelaki. Sikap Wadjda yang serba tomboy dan bebas itu membuatnya sering mendapat masalah dengan kepala sekolahnya yang galak.

Suatu hari, ketika melihat Abdullah memamerkan sepeda barunya, timbul keinginan Wadjda untuk mendapatkan sepeda, walau ditentang oleh ibunya karena menurutnya anak perempuan tidak pantas bersepeda. Wadjda kemudian melihat sepeda berwarna hijau di sebuah toko mainan yang sering didatanginya, dan langsung menjadikan sepeda itu obsesinya. Dia pun melakukan berbagai cara untuk bisa membeli sepeda itu dengan uang sendiri, seperti membuat gelang dan merekam lagu-lagu Barat ke kaset untuk dijual ke teman-temannya, hingga mendaftar ikut kompetisi baca Qur'an berhadiah uang tunai, walaupun berbagai hambatan baginya untuk mendapat sepeda itu terus menghadang.

Wadjda adalah angin segar bahkan di tengah jajaran film non-Hollywood, terutama karena berasal dari negara dimana sutradara wanita seperti Al-Mansour pasti akan menemui banyak hambatan. Al-Mansour sengaja bersusah-payah syuting di Arab Saudi agar filmnya lebih autentik, walau itu berarti harus berkeliling mencari sponsor, melakukan pengarahan di lokasi syuting dengan walkie-talkie dari dalam mobil karena dirinya tidak boleh terlihat bercampur dengan kru lelaki, dan menghabiskan waktu lima tahun untuk menyelesaikan film ini. Hasilnya adalah sebuah film yang jujur, segar, dengan porsi pas antara drama dan komedi, serta pesan-pesan subversif samar di balik kedoknya sebagai film untuk seluruh keluarga, tetapi tetap tanpa agenda politik atau seruan penuh kemarahan.

Gaya realisme yang digunakan Al-Mansour tepat untuk memberi penonton sisi-sisi Arab Saudi yang jarang terlihat di mata publik dunia; jalan yang selalu panas dan tak selalu mulus dengan tumpukan semen dan batu untuk pembangunan di sana-sini, deretan toko dengan mobil-mobil modern terparkir dilatarbelakangi langit gurun, rumah-rumah petak sempit yang dihuni para imigran, pusat perbelanjaan mewah, serta rumah-rumah di pemukiman urban dengan loteng terbukanya. Mengambil gaya neorealisme seperti yang disuguhkan Bicycle Thieves-nya Vittorio de Sica, Al-Mansour membiarkan setiap rincian visual terkecil "berbicara" pada penonton, seolah menjadi narator non verbal.

Yang paling saya suka dari film ini adalah fakta bahwa Al-Mansour, sebagai wanita Arab Saudi, berhasil memanfaatkan posisinya untuk mengajak kita melihat para wanita di balik cadar hitam dan baju tak berbentuk mereka. Benar, Arab Saudi bukan negara yang akan terpikirkan jika kita bicara soal kebebasan kaum wanita, namun pada saat yang sama, kita seringkali juga menolak melihat ke balik cadar hitam para wanita ini, dan memandang mereka dengan rasa kasihan berbalut superioritas. Ini mengingatkan saya pada poster sebuah serial Amerika yang memajang sederet sosok wanita berbalut burka hitam tanpa wajah, dengan si aktris utama yang berambut pirang mengenakan kerudung merah di tengah-tengah. Bagi saya, ini juga sama-sama bentuk obyektifikasi wanita, mau itu wanita berpakaian seksi atau berburka, pada akhirnya bisa saja dianggap properti belaka. 

Al-Mansour memanusiakan para wanita Arab Saudi lewat sosok ibu Wadjda, si kepala sekolah (yang walau galak tetapi juga bisa dibilang sosok wanita mandiri yang tegas), sahabat ibu Wadjda, dan sederet pemeran lainnya. Mereka menyanyi, bekerja, bergosip lewat telepon, pamer barang, bertengkar, dan mengekspresikan rasa sayang kepada keluarga dengan cara yang sama dengan para wanita lain di seluruh dunia. Dan tentu saja ada Wadjda, sosok gadis kecil pemberontak yang akan Anda temui di mana saja. Gadis aktif dengan rambut berantakan dan baju yang sepertinya tak pernah rapi, kulit terbakar matahari karena sering main di luar, lebih suka berteman dengan anak lelaki, dan punya mulut tajam dan cerdas yang kerap membuat kaget atau kesal orang-orang di sekitarnya. 

Tidak mengherankan jika Wadjda pada akhirnya dianggap sebagai film terpenting dari Arab Saudi. Wadjda dan hasratnya untuk membeli sepeda seolah menjadi corong kerinduan kaum wanita yang ingin kebebasan dan kemandirian di Arab Saudi, namun pada saat yang sama, memanusiakan para wanita ini di mata dunia, dan membuka tabir dunia yang selama ini mungkin asing bagi sebagian besar orang; dunia orang-orang biasa yang bebas agenda politik dan propaganda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?