Jumat, 17 Februari 2017

Review: Song of the Sea


Tahun rilis: 2014
Sutradara: Tomm Moore
Pengisi suara: David Rawle, Brendan Gleeson, Fionnula Flanagan, Lisa Hannigan, Lucy O'Connell
My rate: 5/5

Ketika melakukan riset untuk menggarap buku kumpulan cerita rakyat Irlandia, saya menemukan kisah berdasarkan mitos selkie, anjing-anjing laut yang dapat menjelma menjadi manusia dengan cara melepas "mantel" bulu mereka. Sebagai salah satu makhluk mitologi ikonik khas Irlandia, selkie pun dijadikan bintang utama oleh Tomm Moore dalam film animasi tahun 2014 yang mendapat banyak penghargaan, Song of the Sea (Amhrán na Mara). Menggunakan perpaduan antara teknik animasi tradisional, berbagai teknik lukis, musik indah dan cerita yang sederhana namun memikat, Moore berhasil menciptakan film animasi yang bukan hanya cantik, namun benar-benar membuat saya merasa seperti melihat isi buku dongeng yang hidup, tepat di depan mata. 

Song of the Sea dibuka dengan potret kehidupan keluarga yang bahagia: Conor, seorang penjaga mercusuar; istrinya yang sedang hamil, Bronagh; Ben, putra mereka; dan Cú, seekor anjing gembala. Kehidupan mereka nampak tanpa cacat cela, hingga Bronagh mendadak lari dari rumah dan menghilang setelah melahirkan bayi perempuan, Saoirse, yang ternyata bisu. Selain Saoirse, satu-satunya yang ditinggalkan Bronagh adalah sebuah terompet kulit kerang. Conor menjadi kehilangan semangat hidup, dan Ben terus bersikap ketus pada adiknya, menyalahkan Saoirse karena kepergian ibu mereka. Ben juga menakut-nakuti Saoirse dengan cerita tentang Mac Lir, dewa laut yang dikutuk ibunya, penyihir berwujud burung hantu bernama Macha, sehingga tubuhnya membatu.

Suatu hari, Saoirse bermain dengan terompet kulit kerang, dan terompet itu menuntunnya ke sebuah mantel bulu putih yang ternyata sebuah mantel selkie. Ketika Saoirse memakainya, dia bisa berubah menjadi selkie, namun Conor kemudian menyimpan mantel itu di peti dan membuangnya ke laut. Di saat yang sama, Saoirse dan Ben didatangi oleh kaum Faerie, yang berharap Saoirse, sebagai keturunan selkie, bisa menyanyikan "musik lautan" dan menuntun arwah para Faerie, yang terperangkap setelah Macha mengutuk anaknya, kembali ke Tír na nÓg, negeri abadi kaum Faerie. Akan tetapi, kehilangan mantel bulunya membuat Saoirse menjadi sakit dan menua. Ben dan Cú pun harus berjuang demi menyelamatkan Saoirse dan jiwa-jiwa Faerie yang terperangkap setelah Macha mengutuk anaknya.

Karena ini film animasi, saya yakin Anda pasti bisa menebak cerita ini akan berakhir bahagia bahkan jika saya tidak menjelaskan semua plotnya. Ceritanya juga tidak sulit untuk diikuti. Akan tetapi, yang paling penting dari film animasi serba happy ending adalah: bagaimana eksekusinya? Song of the Sea melakukannya dengan baik, dan hal ini terutama didukung dengan animasinya yang memikat. Sentuhan inspirasi dari Hayao Miyazaki cukup nampak di sini, terutama adegan di bus dan wujud Macha si penyihir burung hantu yang mirip Yubaba dalam Spirited Away. Gabungan berbagai gaya artwork serta permainan warna yang nyaris mirip lukisan khas Studio Ghibli, membuat animasi ini menjadi traktiran visual yang luar biasa. 

Akan tetapi, Moore tidak sekadar menjiplak gaya gambar animasi lain. Rumah studio animasinya, Cartoon Saloon, kerap memanfaatkan ide dari lukisan dan ukiran khas Celtic, digabung dengan gaya modernis seperti yang ditampilkan lukisan-lukisan Kandinsky dan Klee. Ada juga sedikit elemen dunia nyata yang dimasukkan ke dalamnya; misalnya, ekspresi wajah Macha mirip dengan wajah nenek dari salah satu staf animator. Gabungan elemen realistis dan fantastis dalam animasi ini memberi kesan "ajaib." Seperti buku dongeng penuh ilustrasi lukisan warna-warni yang mendadak bergerak sendiri, menginvasi dunia kita.

Mitologi Irlandia menjadi "alat" sempurna untuk menjelajahi tema kehilangan yang sangat kental dalam animasi ini. Tom Moore sendiri terinspirasi membuat animasi ini setelah membaca buku berjudul The People of the Sea karya David Thomson, yang menganalisis akar dan variasi dari mitologi serta cerita rakyat terkait selkie di Irlandia. Tidak seperti putri duyung (mermaid) yang lebih populer dalam budaya pop, selkie bukanlah makhluk penggoda atau sosok yang menenggelamkan pelaut. Selkie kerap digambarkan muncul dari laut ketika ada manusia yang berdiri di pantai, merenungi kehilangan orang yang disayangi. Moore pun merasa mitos ini cocok untuk mengeksplorasi tema kehilangan dan duka cita yang kental dalam animasinya.

Kehadiran karakter Ben dan Saoirse juga unik. Moore sengaja membuat tokoh utamanya anak-anak, sebagai antitesis dari kisah-kisah rakyat tentang selkie yang biasanya hanya menjadikan tokoh anak-anak sebagai sampingan, serta lebih berfokus ke pasangan dewasanya. Lucunya, berbagai ulasan negatif yang saya lihat justru meremehkan cerita dalam animasi ini, menganggapnya "terlalu biasa" dan "tidak istimewa." Bukannya pengulas film tidak bisa mengulas animasi yang ditujukan untuk semua umur, tetapi saya pikir, kita perlu sedikit kembali ke jiwa kekanak-kanakan kita dan tidak melulu menggunakan logika dewasa untuk membedah sebuah animasi. Bukannya tidak ada animasi yang tidak menarik, tetapi seperti yang saya bilang, eksekusi adalah kuncinya. Song of the Sea melakukannya dengan baik.

Komposisi oleh Bruno Coulais serta musik dari band folk Irlandia, Kila, menambah daya pikat animasi ini (dan saya senang bukan main ketika para Faerie menyanyikan lagu Dúlamán (Seaweed) untuk Saoirse, karena itu salah satu lagu folk Irlandia favorit saya). Biarkan mata dan telinga Anda dimanjakan, dan lepaskan sisi kanak-kanak dalam jiwa Anda ketika menikmati animasi ini. Tunggulah dengan sabar hingga Anda menyaksikan adegan Saoirse menyanyikan "musik lautannya," sesuatu yang bahkan jauh lebih menggugah emosi daripada ketika saya menyaksikan Elsa menyanyikan Let It Go.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?