Rabu, 15 Februari 2017

Review: The Handmaiden


Tahun rilis: 2016
Sutradara: Park Chan-Wook
Bintang: Kim Tae-Ri, Lee Yong-Nyeo, Kim Min-Hee, Ha Jung-Woo
My rate: 3.5/5

Sebuah cerita bisa dipandang secara berbeda, tergantung siapa yang mengisahkannya. Konsep ini bukan hanya populer di kalangan media yang berpihak pada tokoh politik tertentu, tetapi juga diterapkan sebagai metode penceritaan kisah fiksi untuk mengecoh; teknik yang sering digunakan dalam novel-novel Agatha Christie dan Natsuo Kirino, cerpen Yoko Ogawa dan Edogawa Ranpo, serta karya-karya thriller kontemporer seperti Girl on the Train dan Gone Girl. Lewat The Handmaiden, Park Chan-Wook meramu berbagai elemen genre dengan apik untuk memberikan twist baru yang segar dalam pola penceritaan semacam ini. 

The Handmaiden berkisah tentang tiga karakter utama: gadis muda bernama Sook-hee yang berprofesi sebagai pencopet (Tae-Ri), penipu ulung yang menyebut dirinya Fujiwara (Jung-Woo), dan gadis bangsawan Jepang Lady Hideko (Min-Hee). Fujiwara menyewa Sook-hee untuk menyamar menjadi pelayan baru Lady Hideko selagi dirinya memikat sang gadis bangsawan serta pamannya, Kouzuki (Jin-Woong), seorang kolektor buku langka yang otoriter. Tujuan Fujiwara adalah menikahi gadis ini, menguasai hartanya, lalu menyeret si gadis ke rumah sakit jiwa. 

Selama menjadi pelayan Hideko, Sook-hee mulai melihat banyak keanehan di rumah tersebut, dan mendengar kisah-kisah janggal tentang masa lalu Hideko. Sementara Fujiwara melancarkan berbagai strategi untuk memikat Hideko, Sook-hee dan Hideko pun menjadi semakin dekat. Persahabatan mereka kemudian mulai mengungkap sisi-sisi tidak terduga dari Hideko, serta kenyataan di balik rumah besar dengan ruang baca luas yang misterius milik pamannya.

The Handmaiden bagaikan sebuah puzzle yang menyamar menjadi film, yang menantang kita untuk terus waspada terhadap apa yang mungkin menguak konklusinya dalam setiap rincian visual: setiap lekukan lorong, pintu tersembunyi dan lubang intip rahasia, pohon di depan rumah, kotak berisi perkakas "misterius" yang dipandang Sooki dengan penuh perhatian, hingga buku-buku kuno dengan ilustrasi erotis koleksi paman Lady Hideko. Rumah besar dengan sudut-sudut gelap dan pohon yang memiliki makna khusus bagi Hideko memberi nuansa khas horor gothic klasik, terutama horor yang bukan hanya mengajak kita melihat karakter utama tertipu, tetapi juga mengajak kita ikut tertipu, seperti Gaslight (1944) dan Rebecca (1940). 

Nuansa gothic ini mungkin saja karena Park Chan-Wook menggarap The Handmaiden sebagai adaptasi dari novel thriller psikologis karya Sarah Walters, Fingersmith. Akan tetapi, alih-alih tiruan tak berjiwa, Park berhasil menghidupkan film ini dengan ciri khasnya sehingga menjadi karya yang sama sekali segar, sama seperti Akira Kurosawa yang berhasil menghidupkan ulang lakon-lakon Shakespeare menjadi film-film yang khas dirinya. Karakter Sook-hee yang pantang menyerah, Lady Hideko yang misterius, Kouzuki yang nampak disiplin namun jiwanya menyimpan kecabulan gelap yang kedalamannya sulit ditakar, dan Fujiwara yang licin serta bermuka bunglon juga berhasil membuat film ini menjadi suatu traktiran audio visual yang menarik; tidak ada satupun karakter yang sia-sia.

Dengan membagi film ini menjadi tiga segmen, dimana dua segmen pertama menceritakan kisah yang sama dari sudut pandang berbeda, Park Chan-Wook membawa kita menempuh perjalanan penuh kejutan; betapa sebuah kisah yang sama ternyata menjadi dua hal yang sama sekali berbeda ketika sudut pandang kita diubah. Penggunaan rincian seperti lubang intip, lorong-lorong dan ruang-ruang di dalam rumah yang baru kita lihat setelah beberapa lama, detail pada lukisan dan sampul buku, semuanya menyatu menjadi bagian apik dari narasi yang mengajak (atau mungkin lebih tepat menyeret) kita untuk terus mengupas lapis demi lapis "bawang" misteri ini. Park Chan-Wook juga bermain dengan berbagai gaya sorotan kamera; mulai dari sorotan jarak dekat yang intim, sorotan terkungkung dari balik dinding dan lubang intip rahasia, hingga sorotan jauh yang memberi kesan teatrikal di adegan pembacaan dramatis yang tak terlupakan.

Tergantung siapa yang menonton, The Handmaiden mungkin bisa diinterpretasikan dengan berbagai cara. Film ini bisa menggambarkan sulitnya memisahkan antara diri sejati dengan topeng kepribadian yang manusia ciptakan sendiri. Anda juga bisa menganggapnya sebagai alegori tentang tuntutan masyarakat terhadap standar tertentu yang membuat kita harus berpura-pura. Mungkin film ini adalah eksplorasi tentang betapa rapuhnya konsep "percaya" yang selama ini kerap dipandang dengan begitu naif. Apapun itu, Park Chan-Wook tidak sekalipun terperosok dan membuat filmnya menjadi ajang ceramah, karena jalinan teka-tekinya disusun bagaikan musik yang harmonis, yang membuai sekaligus membuat kita terus penasaran dari awal sampai akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?