Minggu, 30 April 2017

Review: Jiro Dreams of Sushi


Tahun rilis: 2011
Sutradara: David Gelb
Bintang: Jiro Ono, Yoshikazu Ono, Takashi Ono
My rate: 4/5

Kedai sushi Sukiyabashi Jiro bukan restoran megah. Berlokasi di lantai bawah tanah gedung Tsukamoto Sogyo di Ginza, ukurannya kecil dan hanya memiliki sepuluh tempat duduk, serta tidak menyajikan makanan apapun selain sushi. Tetapi toh kedai mungil ini memiliki tiga Bintang Michelin, dipuji-puji para juru masak internasional, dan pemesanan tempat duduk harus dilakukan minimal sebulan sebelumnya. Jiro Dreams of Sushi adalah dokumenter garapan David Gelb yang mengulas bukan hanya rutinitas kedai sushi mungil tapi terkenal ini, melainkan juga sosok Jiro Ono, si pemilik kedai yang perfeksionis, serta misinya yang tak kenal lelah dalam mengejar kesempurnaan.

Jiro Dreams of Sushi mengikuti sosok Jiro Ono dalam mengelola kedai Sukiyabashi Jiro bersama putranya, Yoshikazu, serta beberapa pegawainya. Selain melihat keseharian Jiro memilih bahan segar, mempersiapkannya, hingga saat melayani pelanggan, penonton juga diajak menyimak filosofi Jiro tentang bisnisnya, perjalanan karirnya, serta pilihan karir kedua putranya,Yoshikazu dan Takashi; yang terakhir ini memilih untuk membuka kedai serupa di Roppongi. Penonton juga diajak menyimak "rahasia" Jiro dalam mengubah kedai mungilnya menjadi sebuah restoran dengan tiga Bintang Michelin, dan membuat orang menunggu sampai sebulan untuk menikmati sushi berharga ratusan Dolar.

Gelb menggabungkan narasi video, dokumentasi foto, serta wawancara untuk menyusun kaleidoskop keseharian yang berwarna-warni dari sebuah bisnis yang sebenarnya tidak besar. Jiro tidak serakah dalam mengembangkan bisnisnya. Kedainya hanya punya sepuluh kursi, dan lokasinya juga tidak mentereng di area strategis pinggir jalan, melainkan di satu sudut di stasiun bawah tanah. Sepintas, kedai Jiro adalah tipe yang akan membuat orang bertanya-tanya: kenapa kedai sushi mungil begitu "berani" mematok harga mahal dan tingkat pelayanan eksklusif? Jiro bahkan hanya menerima tamu lewat pemesanan, tidak menghidangkan makanan pembuka, dan tidak menyebar pamflet atau memasang spanduk promosi, hanya memberi kartu nama. Tetapi, setelah menyaksikan dokumenter ini, saya yakin semua orang pasti tidak akan lagi menganggapnya aneh.

Keputusan Gelb menjadikan dokumenter ini berfokus pada Jiro memang sudah tepat. Awalnya, Gelb berpikir untuk membuat dokumenter bertajuk Planet Sushi, yang tujuannya adalah meliput berbagai restoran serta koki sushi terbaik di Jepang. Akan tetapi, dalam wawancara dengan Indiewire, Gelb mengungkap bahwa dia memutuskan membuat dokumenter khusus tentang Jiro bukan hanya karena kelezatan dan kualitas sushi buatannya, melainkan juga upaya Jiro yang tak kunjung selesai dalam mengejar kesempurnaan layanan, bahkan melebihi restoran-restoran sushi besar dan mewah di Jepang.

Jiro, pribadi yang membenci hari libur serta menerima penghargaan di pagi hari untuk kembali lagi ke kedainya di sore hari, adalah orang yang terus berusaha memuaskan tamu-tamunya dengan cara-cara yang mungkin kecil tetapi konsisten. Dia mengamati di mana tamu duduk, bagaimana gerak-gerik mereka, mana yang kidal dan mana yang tidak, dan bahkan menuntut pekerja-pekerja magangnya untuk belajar melipat handuk tangan dengan benar berkali-kali sebelum menaruhnya di depan tamu. Bukan hal yang aneh jika ada karyawan magang muda yang berhenti setelah hari pertama karena tuntutan yang begitu besar. Akan tetapi, setiap sorotan close up ke ikan-ikan yang diiris dengan sempurna, telur panggang yang tebal keemasan, serta nasi putih yang masih beruap seolah menjadi pembuktian bisu dari hasil dedikasi Jiro. Gelb mungkin menggunakan musik latar dari Bach, Mozart, dan Philip Glass sebagai ilustrasi dokumenternya, namun tidak ada narator selain orang-orang yang diwawancarai khusus untuk dokumenter ini (termasuk Jiro). Kita memandang dunia lewat mata Jiro, si pengejar kesempurnaan, mulai dari saat dia memilih ikan untuk menunya, hingga membungkuk berterima kasih setiap kali seorang tamu selesai makan dengan ekspresi puas.

Mendiang kritikus film Roger Ebert menyebut dokumenter ini sebagai sebuah visualisasi dari "tunnel vision". Sebuah sorotan mengerucut terhadap seseorang yang tidak memandang hal lain di dunia ini kecuali kesempurnaan dalam pekerjaannya. Jiro Dreams of Sushi mungkin menyingkap sedikit sisi-sisi kehidupan pribadi Jiro, tetapi tidak seutuhnya. Yang kita lihat hanyalah upaya tanpa henti dari seorang pemilik restoran yang lebih berfokus menyempurnakan keahliannya ketimbang mengembangkan kerajaan bisnis; sebuah potret akan dedikasi terhadap seni olah makanan yang menunjukkan apa makna konsistensi dan kualitas di tengah arus modernitas industri boga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?