Kamis, 22 Juni 2017

Review: Mystery Road


Tahun rilis: 2013
Sutradara: Ivan Sen
Bintang: Aaron Pedersen, Hugo Weaving, Jack Thompson, David Field, Ryan Kwanten, Bruce Spence, Tasma Walton
My rate: 4/5

Mystery Road lebih dari "sekadar" slow-burning thriller yang menampilkan sosok penyelidik tangguh ala koboi di dataran kering nan terpencil di Australia. Mengusung tokoh polisi separuh Aborigin yang menyelidiki misteri kematian gadis pribumi miskin, sutradara Ivan Sen menjalin misteri berlapis, atmosfer sunyi yang memikat sekaligus suram, audio visual apik, nuansa noir, serta jendela kecil yang memperlihatkan sisi psikologis dari karakter yang seolah berjalan di antara dua dunia sebagai polisi ras campuran dalam dunia yang tak berbelas kasihan. 

Jay Swan (Pedersen) adalah detektif polisi yang kembali ke kampung halamannya di area rural Queensland setelah menjalani pelatihan di Sydney. Pada saat yang bersamaan, seorang sopir truk menemukan mayat gadis Aborigin, Julie, yang digorok lehernya. Penyelidikan awal mengungkap bahwa gadis itu seorang pecandu narkoba yang melacur untuk sopir-sopir truk demi mendapat uang cepat. Jay pun mencari petunjuk dengan menemui berbagai karakter, mulai dari komunitas Aborigin lokal, pemilik peternakan tua dan putranya yang berdarah panas, hingga putrinya sendiri, Crystal, yang ternyata adalah teman Julie.

Sikap rekan-rekan Jay sesama polisi yang cenderung kurang simpatik terhadap kematian gadis Aborigin miskin membuat Jay harus bekerja sendiri. Selain itu, Jay juga harus berhadapan dengan koleganya, Johnno (Weaving), yang bersikap mencurigakan. Penyelidikannya pun semakin membawanya ke ranah berbahaya ketika dia menemukan kaitan antara kematian Julie dengan kejahatan lain yang lebih masif dan terorganisir.

Ketika saya menemukan film ini beberapa minggu yang lalu, saya tidak tahu apa yang menanti saya. Akan tetapi, sejak menekan tombol Play dan membiarkan film ini "mengalir", sulit sekali mengalihkan pandang darinya, walau film ini cukup irit dialog di beberapa bagian dan mengandalkan perkembangan plot yang lambat tetapi pasti, bukan adegan dar-der-dor atau kejar-kejaran seru. Ivan Sen pandai merangkai cerita tanpa terburu-buru, mengajak kita mengikuti perjalanan Jay saat mengungkap petunjuk demi petunjuk. Jay digambarkan melakukan perjalanan secara tradisional: mengecek berkas-berkas dan data polisi, mendatangi saksi satu demi satu dan mewawancarai mereka secara mendalam, hingga mengunjungi tempat-tempat di mana Julie pernah berada. Tidak ada yang namanya adegan "ilham dadakan", yang kerap dijadikan topeng bagi penulis skenario malas untuk menciptakan konklusi. Jika Anda ingin tahu apa yang ada di ujung misteri ini, mau tidak mau Anda harus mengikuti perjalanan Jay. 

Sejak film dimulai, satu hal yang paling jelas terlihat adalah suasana gersang dan kosong di area rural Queensland, yang suram walau terus disinari cahaya matahari yang terik. Beberapa karakter di film ini juga terus menerus menyebut tentang adanya ancaman anjing liar yang melolong-lolong serta menyerang hewan ternak. Kegersangan serta anjing-anjing liar seolah menjadi metafora untuk kegersangan moral dan kekejaman diam yang menyelimuti para karakter dalam film ini. Jay, sebagai tokoh yang berusaha untuk idealis sebagai polisi, kerap menemukan dirinya terbentur jalan buntu, dan bahkan dicurigai habis-habisan dalam misinya untuk mengungkap kebenaran. Jay mungkin memburu pelaku yang berwujud manusia, tetapi apatisme, kecurigaan, dan ketakutan tersembunyi adalah musuh terbesarnya.

Ivan Sen, yang berdarah campuran Kamilaroi (salah satu kelompok masyarakat pribumi Australia) dan Jerman, dengan apik menggambarkan dilema moral serta dinamika psikologis dalam interaksi Jay dan komunitasnya. Ketika mencari petunjuk, Jay kerap menghadapi rasisme kasual, jenis yang kerap terlontar dari mulut tanpa disadari, seperti ketika si pemilik peternakan berkulit putih memanggilnya "polisi Abo yang suka menangkapi sesamanya", atau celetukan seorang rekannya yang secara tidak langsung menyamakannya dengan anjing. Sialnya, karena darah campurannya, kedudukannya sebagai polisi (yang jarang bisa diraih orang Aborigin), serta interaksinya dengan orang kulit putih, membuat Jay juga ditatap dengan curiga oleh komunitas Aborigin. "I've been in the middle my whole life", ungkap Jay dalam salah satu dialognya, dengan tepat menggambarkan apa yang dirasakan oleh mereka yang "berada di antara dua dunia" karena berdarah campuran atau memiliki latar belakang budaya, negara, atau kesukuan yang berwarna-warni.

Aaron Pedersen sebagai Jay bukan satu-satunya bintang bersinar dalam film ini. Melengkapi karakternya, ada Bruce Spence sebagai petugas koroner yang filosofis dan menjadi satu-satunya orang yang bisa Jay ajak bicara, Jack Thompson sebagai Aborigin tua penyendiri dengan pengetahuan mendalam tentang komunitasnya, David Field sebagai si pemilik peternakan dan Ryan Kwanten sebagai putranya yang konfrontatif, hingga Hugo Weaving sebagai Johnno yang penuh teka-teki. Dialog cerdas yang mengalir dan dibawakan dengan aksen Australia yang kental semakin menambah keunikan film ini, membuatnya terasa seperti "film noir Wild West rasa Australia".

Selama menonton film ini, telinga Anda juga akan "ditraktir" oleh aspek audio yang jernih dan sangat menonjol, serta menjadi salah satu pendukung aktif dalam penggambaran cerita. Setiap suara sekecil apapun, mulai dari lolongan angin hingga gemeresak kerikil yang diinjak sepatu, menciptakan nuansa yang membuat Anda seolah berada di samping Jay dalam setiap langkah penyelidikannya. Ketika film ini akhirnya mencapai konklusinya, kita mungkin melaju menuju matahari terbenam bagaikan koboi yang menjadi pahlawan, namun alih-alih merasa menang, kita akan tetap mempertanyakan segalanya. Satu-satunya pemenang, pada akhirnya, adalah gurun yang keras, kejam, dan terus ada bersama waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?