Kamis, 17 Agustus 2017

Review: Polisse


Tahun rilis: 2011
Sutradara: Maïwenn
Bintang: Karin Viard, Marina Foïs, JoeyStarr, Nicolas Duvauchelle, Frédéric Pierrot, Naidra Ayadi
My rate: 4/5

"Papa kadang-kadang menggaruk pantatku...dan di bawah celanaku. Di sini."

Kata-kata ini keluar dari mulut seorang gadis kecil di depan polisi wanita bertampang serius, di dalam ruangan suram kedap suara yang dibatasi kaca besar, dan seorang pria mengawasi semua itu lewat monitor. Adegan pembuka Polisse, drama Prancis tentang keseharian satgas khusus perlindungan anak, memang tidak berniat membuai penonton untuk hanyut dalam rasa aman palsu sebelum perlahan digiring memasuki area kontroversial. Kejahatan terhadap anak, salah satu kelompok paling rapuh terkait risiko kejahatan seksual, adalah realitas brutal dalam kehidupan, dan Maïwenn tidak akan memanjakan kehalusan jiwa Anda.

Digarap dengan gaya bak dokumenter fly-on-the-wall, Polisse mengikuti keseharian satgas perlindungan anak di sebuah kantor polisi di Paris. Satgas ini terdiri dari banyak anggota dari beragam latar belakang, dan berbagai adegan interogasi, penangkapan, serta konflik dalam dunia kerja dikisahkan berselang-seling dengan kehidupan pribadi para anggotanya. Beberapa karakter yang menjadi sorotan utama antara lain Fred (JoeyStarr), polisi idealis yang temperamennya cenderung meledak-ledak, Iris (Fois), polwan tegas yang menyimpan problem gangguan makan, Nadine (Viard), sahabat Iris yang sedang bermasalah dengan perceraian, dan Balloo (Pierrot), kepala satgas yang berusaha keras menyeimbangkan pekerjaan serta kehidupan keluarganya.

Polisse bagaikan gabungan antara The Office dan The Wire yang dipadatkan ke dalam satu film. Setiap adegan seolah terdiri dari fragmen-fragmen terpisah, disorot menggunakan efek kamera organik sehingga nampak lebih nyata. Setelah wawancara dengan seorang anak yang diduga dilecehkan, penonton akan melihat interaksi wajar antara orang tua dan anak, seolah mau meleburkan batasan antara ekspresi sayang dengan perilaku tidak senonoh terhadap anak. Polisse seolah mengingatkan bahwa terkadang, dalam dunia nyata, batas antara kedua hal ini sulit dipisahkan. Hal inilah yang membuat banyak sekali peristiwa pelecehan terhadap anak cenderung tidak sampai ke polisi. Bayangkan seorang ibu yang dengan polosnya memasturbasi anaknya yang masih berusia 3 tahun supaya tertidur, mengira hal itu tidak apa-apa dan bukan termasuk pemerkosaan, hanya karena tidak ada penetrasi. How do you explain that?

Polisse juga dengan apik menunjukkan fakta lapangan tentang kondisi satgas perlindungan anak di Prancis, yang kerap dianggap sebagai "satgas sekunder" di kalangan polisi, dan dianggap kurang elit dibandingkan satgas kejahatan narkoba atau pembunuhan, misalnya. Akibatnya, para anggotanya sering pontang-panting bekerja dengan sumber daya terbatas. Salah satunya tergambar dalam adegan ketika mereka mendapat laporan penculikan bayi oleh ibunya yang pecandu narkoba. Situasi genting itu menjadi bertambah ruwet ketika mereka menyadari bahwa mobil patroli ternyata dipinjam oleh satgas lain, dan penundaan yang terjadi membuat mereka semakin frustrasi, karena keselamatan si bayi semakin terancam seiring waktu.

Mengikuti jejak rekan sesama sutradara Prancis, Abdellatif Kechiche, Maïwenn tidak menggarap adegan-adegan dalam film bertema sensitif ini dengan cara "aman" (misalnya menggunakan perpindahan kamera untuk "melindungi" kehalusan hati penonton atau menonjolkan elemen "imut" pada tokoh anak-anak). Kameranya memilih suatu fokus, kemudian membiarkan intensitas emosional semakin berkembang secara alami seiring adegan. Hal ini sangat efektif terutama pada dua adegan paling emosional di film ini: ketika seorang wanita meninggalkan anaknya di kantor satgas tersebut karena tidak ingin anaknya ikut jadi gelandangan seperti dirinya, serta ketika Iris dan Nadine bertengkar hebat menjelang akhir film.

Bicara soal karakter, Polisse piawai dalam menunjukkan realitas keseharian orang-orang yang bekerja di bidang sensitif, dengan metode masing-masing untuk mencegah keruntuhan psikologis. Ada yang sengaja menjauhkan diri secara emosional sampai cenderung dingin, ada yang malah terlalu emosional dan menangani setiap kasus seolah yang menjadi korban adalah anaknya sendiri. Film ini tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi secara alami menunjukkan apa yang terjadi ketika orang bersikap terlalu menjaga jarak atau malah intim ketika menyikapi kasus-kasus sensitif dalam pekerjaan semacam ini.

Ada beberapa hal yang sedikit mengganjal dalam Polisse. Pertama, hadirnya tokoh Melissa yang diperankan sendiri oleh Maïwenn. Melissa adalah fotografer yang ditugaskan untuk mendokumentasikan kegiatan sehari-hari satgas tersebut. Kehadirannya mungkin dimaksudkan untuk memberi sudut pandang baru bagi penonton (dan penambahan karakter yang cukup wajar, mengingat dokumentasi macam ini bukan hal aneh). Akan tetapi, ketika Melissa digambarkan menjalin romansa dengan Fred, di situ saya mulai berpikir: what purpose does she serve? Tidak ada sesuatu yang berarti yang ditambahkan karakter Melissa, dan adegan romantisnya dengan Fred baru "berguna" dalam adegan penyergapan panjang di sebuah pusat perbelanjaan.

Gaya penyutradaan Polisse juga membuat pengalaman menonton film ini terasa kurang "mulus" di beberapa bagian. Banyak fragmen adegan yang seolah tidak memiliki elemen penghubung antara satu dengan lainnya. Jelas bukan jenis film yang bisa di-skip seenaknya. Beberapa plot dalam film juga seolah tidak memiliki konklusi, sehingga penonton yang kurang suka dengan open ending mungkin akan merasa kurang puas. Akan tetapi, elemen terakhir ini menurut saya pas dengan apa yang coba disajikan Polisse, di mana kita memandang setiap kasus dari mata para polisi, yang walau bekerja keras, tetap saja tidak akan bisa melihat bagaimana kasus yang mereka tangani akan berakhir, karena bukan mereka yang menentukannya. Walau itu berarti terpaksa membiarkan seorang terduga pelaku pelecehan lolos hanya karena dia orang berpangkat.

Singkatnya, Polisse bukanlah sebuah pameran gagah-gagahan sebuah institusi yang maunya dipotret secara sempurna bak film aksi. Ini adalah fiksi yang menggambarkan potret realistis mereka yang bekerja di salah satu bidang paling sensitif dan membuat stres, dan tetap berusaha keras walau dengan segala keterbatasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?