Minggu, 10 September 2017

Review: Kedi


Tahun rilis: 2016
Sutradara: Ceyda Torun
Bintang: Sari, Duman, Bengü, Aslan Parçasi, Gamsiz, Psikopat, Deniz (semuanya kucing! Yah, ada manusianya juga)
My rate: 5/5


Sebagai pencinta kucing, memberi rating tinggi untuk dokumenter karya Ceyda Torun, Kedi, mungkin kelewat subjektif. Apalagi, premis Kedi bisa dibilang membingungkan bagi yang baru mendengarnya. Apa yang istimewa dari 78 menit video kucing? Di sinilah Anda harus menyaksikannya secara langsung, karena Kedi lebih dari kompilasi video kucing di YouTube: Kedi adalah persembahan Torun untuk genre dokumenter "simfoni kota" yang populer pada awal abad ke-20, dan para kucing serta Istanbul versinya secara tidak langsung merupakan refleksi dari relasi antara manusia dan hewan, serta bagaimana mereka beradaptasi dengan dinamika kota yang terus berubah, dan bahkan bisa mengikis aspek-aspek manusiawi dari masyarakatnya.

Kedi mengajak kita mengikuti tujuh ekor kucing jalanan yang paling populer di lingkungan mereka: Sari, yang rajin keluar meminta makanan untuk anak-anaknya; Duman, yang hobi nongkrong di sebuah kafe mahal, tetapi anehnya tidak pernah menerobos untuk minta makanan walau pintunya terbuka; Bengü, yang suka dibelai tetapi berubah ganas bila anaknya diganggu; Psikopat, kucing cemburuan yang galak terhadap sesama kucing betina (tetapi sok manja dengan manusia); Deniz, kucing pasar yang akrab dengan semua orang; Aslan, "penjaga" sebuah restoran pinggir pantai dari serbuan tikus; dan Gamsiz, kucing "gaul" yang senang mampir ke rumah orang-orang dan bersikap seolah dia bos di lingkungannya.

Alih-alih berfokus pada kelucuan dan tingkah para kucing ini, Torun mengajak penonton melihat hubungan antara ketujuh kucing ini dengan manusia di sekitarnya. Ada beberapa wawancara dengan penduduk Istanbul dari berbagai latar belakang dan profesi (pemilik kafe, seniman, penjaga butik, pemilik bengkel, nakhoda, dan sebagainya), tetapi semua memiliki kesamaan: mereka merasa memiliki hubungan khusus dengan kucing-kucing yang ada di kota mereka. Selain ketujuh kucing yang disorot secara khusus, Torun juga mewawancari individu-individu yang sering berinteraksi dengan kucing lain, seperti nakhoda kapal yang merawat anak kucing telantar, atau seorang pria yang berkeliling memberi makan kucing sebagai bagian dari terapi untuk gangguan kecemasan.

Dalam suatu wawancara, desainer Coco Chanel pernah berkomentar: "Mode passes, style remains". Kalau mau saya terapkan ke video YouTube, mungkin jadinya: "YouTube video trend passes, cat videos remain". Siapapun yang pernah menghabiskan waktu "tenggelam" di dalam pusaran video YouTube mungkin pernah mengalaminya: dari sekian banyak video yang bisa ditonton, ada sesuatu yang memikat dari kompilasi video kucing-kucing lucu. Begitu populernya kucing dalam budaya kita, sampai-sampai ada konvensi khusus untuk kucing dalam kaitannya dengan budaya pop. Kecintaan manusia terhadap makhluk berbulu ini sudah berakar sejak ribuan tahun, dan penelitian baru tentang kucing (termasuk bukti yang menyatakan bahwa kucing "mendomestikasi" diri mereka sendiri) terus bermunculan.

Perbedaan antara Kedi dan video kucing ala YouTube segera terlihat dari bagaimana kamera memperlakukan para objeknya. Sinematografer Alp Korfali dan Charlie Wupperman menunjukkan kelincahan mereka dalam mengikuti para kucing di level yang sama dengan mereka. Kamera terkadang menyorot para kucing dari depan, kadang mengikuti dari belakang, atau bahkan mengambil sudut pengambilan tinggi untuk menyorot kucing yang sedang nongkrong di tonjolan tembok di sebuah gedung tinggi. Kadang kita melihat kamera "terbang" di atas kota. Ketika adegan wawancara dengan manusia, kamera juga tidak statis, dan orang-orang ini kebanyakan juga tidak berhenti dari kegiatan mereka sangat berbicara.

Dalam beberapa adegan, terutama ketika kamera melayang atau menyorot berbagai sudut kota serta kesibukan penduduknya, Kedi terlihat sebagai persembahan untuk sinema simfoni kota ala Berlin: Symphony of a Metropolis (1927) dan Études sur Paris (1928). Semangat yang sama juga diterapkan saat menyorot interaksi antara kucing dan manusia: tidak berfokus melulu pada si kucing atau si manusia, melainkan pada dinamika kota yang tergambar dari kedua spesies yang hidup berdampingan ini. Beberapa kalimat yang keluar dari mulut para responden mungkin terdengar kelewat romantis, tetapi saya toh sejak lama menyukai romantisme dari yang riuh dan banal, jenis yang akan Anda temukan dalam cerpen-cerpennya Seno Gumira Ajidarma.

Di balik imaji imut yang bertebaran di sepanjang dokumenter ini, ada sesuatu yang lebih suram mencuat: interaksi antara kucing dan manusia di Istanbul adalah cerminan dari perkembangan kota yang berpotensi kehilangan wajah manusiawinya. Komentar yang keluar dari para responden pun mencerminkan hal ini secara tidak langsung. Misalnya, ketika seorang responden berkata "Dulu di sini banyak kebun buah dan taman, jadi kucing mudah mencari tanah untuk buang air," maksudnya adalah "Dulu kota ini lebih asri, tetapi sekarang ruang hijau sudah semakin berkurang." Ketika seorang pedagang di pasar berkata "Sebentar lagi di sini akan dibangun jalan besar dan gedung tinggi. Nanti siapa yang akan memberi makan kucing-kucing?" Maksudnya adalah "Sebentar lagi pasar tradisional dan pedagang kecil akan tergusur dari sini". Seorang wanita menyimpulkannya dengan apik: "Sangat mudah melihat kucing sebagai sumber masalah, tetapi jika kita membereskan masalah mereka, kita juga bisa membereskan masalah manusia".

Oh ya, jangan lewatkan pula kesempatan untuk memanjakan telinga Anda dengan lagu-lagu pop Turki serta komposisi orisinal oleh Kira Fontana. Setiap kali melihat kucing berjalan cepat dengan iringan lagu Fındık Dalları-nya Mavi Işıklar, Arkadaşım Eşşek-nya Barış Manço, atau Deli Kadın-nya Erkin Koray, saya merasa bahwa lagu-lagu ini memang sengaja dipilih karena ritmenya cocok dengan gerak-gerik para kucing (entah kenapa kesannya begitu).

Dalam wawancara dengan Vanity Fair, Torun berujar bahwa ada satu hal yang menjadi keistimewaan kucing: hewan ini adalah koneksi manusia modern dengan alam yang tidak mengancam atau membahayakan. Saat ini, hewan-hewan yang mengelilingi masyarakat modern kebanyakan adalah hewan ternak atau hewan "dengan kegunaan" (hewan penjaga, hewan percobaan, hewan beban, hewan di kepolisian atau militer, dan sebagainya). Akan tetapi, kita bisa merasa nyaman berada di dekat kucing, tanpa perlu merasa takut atau membebani mereka dengan ekspektasi. Hubungan manusia dan kucing adalah hubungan resiprokal, tetapi tanpa tuntutan apa-apa. Pernyataan ini, serta Kedi secara keseluruhan, jelas adalah sesuatu yang membuat saya memandang kucing di rumah dengan kacamata baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?