Jumat, 01 Desember 2017

Review: Ingrid Goes West



Tahun rilis: 2017
Sutradara: Matt Spicer
Bintang: Aubrey Plaza, Elizabeth Olsen, O'Shea Jackson Jr., Wyatt Russell, Billy Magnussen
My rate: 4/5

Terlalu mudah menganggap Ingrid Goes West sebagai "Paduan All About Eve dan Single White Female untuk generasi Instagram". Memadukan trope populer seperti wanita histeris, penguntit, delusi terhadap kaum tersohor, serta 'transformasi itik buruk rupa', Matt Spicer berhasil meramu drama komedi gelap yang menyindir obsesi akan citra kehidupan sempurna ala Instagram, lewat sudut pandang seorang penguntit yang ingin memasuki kehidupan sempurna seorang "SelebGram".

Ingrid (Plaza) adalah gadis bermasalah yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa setelah menyerang seorang selebriti Instagram yang menikah tanpa mengundangnya (Ingrid menganggap mereka berteman, tetapi wanita itu sebenarnya hanya pernah sekali menjawab komentar Ingrid dengan ramah). Setelah bebas dan menerima uang warisan dari ibunya yang baru meninggal, Ingrid pindah ke LA untuk membuntuti obsesi terbarunya, seorang selebriti Instagram dan influencer bernama Taylor (Olsen).

Ingrid berusaha mendekati Taylor dengan berbagai cara, mulai dari mengganti gaya rambut dan pakaian, hingga mencuri anjing Taylor untuk kemudian pura-pura menemukan dan mengembalikannya. Taylor dan Ingrid kemudian menjadi dekat, sampai Ingrid perlahan melihat sisi-sisi yang tak diperlihatkan Taylor di akun Instagramnya yang terlihat sempurna. Ingrid juga harus menghadapi adik Taylor, Nicky (Magnussen) yang tidak menyukainya, serta Dan (Jackson), pemilik rumah sewaannya di LA yang curiga terhadapnya.

Jejaring sosial, internet, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia telah lama menjadi topik empuk bagi para sineas modern. Sayangnya, film-film semacam itu sejauh ini kebanyakan terlihat seperti iklan layanan masyarakat yang diputar di sekolah di hadapan siswa-siswa yang bosan, lengkap dengan karakter kelas menengah yang seolah keluar dari cetakan yang sama, situs fiktif yang maunya meniru Facebook (BuddyMe? Seriously?), dan berujung pada ceramah tentang bahayanya internet. Mungkin hanya Cyberbully (2015) dan beberapa episode Black Mirror yang bisa "mengenyangkan" saya, tetapi di luar itu, sama melempemnya.

Ingrid Goes West keluar dari klise semacam itu dengan memanfaatkan komedi gelap sebagai gaya penceritaannya. Film-film bertema penguntit kerap mengambil sudut pandang dari si "korban". Sutradara lain mungkin akan menjadikan Taylor si influencer Instagram sebagai protagonis yang harus menghindari penguntit berbahaya. Akan tetapi, Matt Spicer membalik pola khas ini dengan mengambil sudut pandang Ingrid, bukan Taylor, dan dengan demikian, menjadikan Ingrid sebagai cerminan dari kita (yang saya maksud dengan kita tentu saja tidak berlaku jika Anda sendiri adalah seorang selebriti Instagram).

Aubrey Plaza sukses menangkap sisi-sisi ekstrem nyaris neurotik dari Ingrid yang terobsesi pada imaji kesempurnaan di akun Instagram yang terkurasi dengan baik, sementara hidupnya sendiri semakin terabaikan. Spicer dengan jeli menangkap detail-detail seperti ketika Ingrid ragu antara mengetik "hehehe" atau "heh heh heh", hingga kalimat postingan yang dihapus beberapa kali. Melihat Ingrid me-like berbagai postingan bahkan tanpa berpikir sementara rumahnya sendiri gelap dan suram, atau menyukai foto makanan enak yang diunggah Taylor sembari melirik ke rotinya sendiri yang teronggok menyedihkan, seperti melihat ke dalam diri semua orang yang bukan selebriti Instagram.

Spicer menyelipkan satu menit montase yang terdiri dari foto-foto serta video Instagram Taylor, sebagai jendela mini ke kultur jejaring sosial: foto makanan yang dipotret dari atas, kutipan orang-orang terkenal yang dicomot di luar konteks, filosofi hidup yang dipadatkan ke dalam beberapa kalimat "berat" serta tagar, hingga nama yang mencerminkan candaan meta cerdas (Taylor menggunakan nama akun welltaylored, seolah belum cukup memberi petunjuk bahwa akun Instagramnya adalah sesuatu yang well-tailored, alias dirancang dengan seksama). Montase singkat ini ditambal sulam dari foto-foto cantik yang berganti secara cepat, bagaikan deretan reklame yang dengan cepat membius Ingrid hingga matanya berkaca-kaca: karena emosi yang meluap serta karena terlalu sering menatap layar.

Spicer juga menolak sentimentalisme dan bahkan dengan kejam menguliti kultur hipster penuh pretensi serta apropriasi budaya dalam area trendi Los Angeles yang tergentrifikasi. Mulai dari pria-pria yang memanjangkan rambut dan menatanya dalam "sanggul cowok" alias man bun, karya seni dari gambar colongan yang berkualitas rendah tetapi dianggap sebagai pop art ala Warhol, restoran yang menyambut karyawan dengan kata-kata mutiara, lengkap dengan kreasi pangsit aneh yang maunya trendi tapi malah membuat Ingrid langsung menyemburkannya dari mulut ketika mencobanya, seperti versi lebih slebor dari Lacie-nya Bryce Dallas Howard dalam episode pertama musim ketiga seri Black Mirror (padahal Ingrid baru saja memotret makanan itu dengan cantik dan menambahkan komentar positif, supaya dilihat Taylor).

Ingrid dan Taylor terlihat sebagai dua karakter yang berlawanan, dalam artian bagaimana mereka memandang hidup dari kacamata Instagram. Taylor seperti orang yang menerapkan kutipan "hidup adalah panggung sandiwara" secara ekstrem, karena hidupnya sebagai pribadi berbeda dengan sebagai "merk" yang diperlihatkannya pada orang. Ingrid adalah karakter yang "kosong", dan memang tidak pernah berniat mencari makna hidup, karena membajak kesempurnaan orang lain adalah tujuannya. Kita meringis melihatnya membuat satu keputusan buruk ke keputusan buruk lainnya demi membajak kesempurnaan artifisial itu, walau sesungguhnya ada potensi nyata untuk memperbaiki hidupnya sendiri, seperti uang warisan dari mendiang ibunya serta romansa atau minimal persahabatan sungguhan dengan Dan (penampilan bersahaja yang apik oleh O'Shea Jackson, Jr., setelah sebelumnya memerankan Ice Cube dalam Straight Outta Compton).

Ingrid Goes West adalah film komedi gelap tentang jejaring sosial yang tidak berceramah, walau cenderung mudah bagi kita untuk menangkap satirnya. Entah bagaimana Anda akan mengidentifikasi diri dengan karakter-karakternya, tetapi satu hal yang jelas: Anda mungkin akan harus menggunakan kata schadenfreude lagi saat menontonnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?