Minggu, 25 Februari 2018

Review: The Bacchus Lady



Tahun rilis: 2016
Sutradara: E J-yong
Bintang: Youn Yuh-jung, Chon Moo-song, Yoon Kye-sang, Park Seung-tae, An A-zu, Choi Hyun-jun
My rate: 4/5


Penikmat budaya populer menikmati wajah Korea Selatan lewat kota-kota yang "memadukan tradisi dengan modernitas", atau figur-figur tampan dan cantik serta populer. Tetapi, siapa pun yang sedikit mengulik di balik kegemilangan imaji tersebut pasti bertanya-tanya: bagaimana jika kau adalah wanita lanjut usia yang tidak punya banyak uang dan kesempatan, tetapi harus berjuang untuk tidak tenggelam oleh ombak modernisasi, padahal hidup tidak berhenti berjalan ketika kau menua? The Bacchus Lady adalah film berbujet rendah yang secara apik menyodorkan tema ironis: realitas muram bagi kaum lanjut usia di Korea Selatan, golongan yang justru banyak berperan dalam menciptakan status "negara maju" di negeri tersebut.

So-young (Yuh-jung) adalah pelacur lanjut usia yang mencari langganan di Taman Jongno, menawarkan minuman energi bermerk Bacchus sebagai kode untuk seks. Ketika pergi ke rumah sakit, So-young melihat dokter langganannya diserang oleh wanita Filipina yang ternyata istri gelapnya. So-young kemudian membawa pulang dan mengurus Min-ho (Hyun-jun), anak blasteran si dokter dan wanita Filipina tersebut, yang melarikan diri.

Film ini secara bergantian menggambarkan kegiatan So-young sebagai pelacur di Taman Jongno, serta interaksinya dengan Min-ho serta tetangga-tetangganya. Ada Tina (A-zu), transpuan pemilik rumah sewaannya, serta mekanik bertarif kecil Do-hoon (Kye-sang). Pertemuan So-young dengan beberapa klien dan teman masa lalunya, yang sama-sama telah menua, mendorong Jo-young untuk memenuhi permintaan ekstrem beberapa dari mereka, walau penjara taruhannya.

Beberapa film terbaik di dunia kontemporer digarap dengan biaya relatif kecil, karena keterbatasan biaya membuat sineas harus kreatif. Dalam hal The Bacchus Lady, biaya kecil membuat filmnya bebas dari glamorisasi. J-yong mengikuti kehidupan So-young sebagai pelacur dengan kejujuran brutal tetapi tanpa mencekik penonton (walau adegan awalnya mungkin akan membuat penonton tertentu berjengit, ketika So-young pergi ke dokter karena dia terkena penyakit menular seksual dari salah satu pasiennya. Jelas bukan sesuatu yang sering ditampakkan terang-terangan dalam film).

Lepas dari adegan pembuka yang sedikit intens di awal, J-yong mengikuti keseharian So-young dengan pergerakan kamera yang relatif alami, tidak terlalu jauh maupun berjarak, dan berfokus pada rutinitas harian So-young secara datar, seolah mengambil sudut pandang sang pelacur tua yang memang sudah menganggap pekerjaannya bisnis biasa. J-yong juga tidak menggunakan close-up atau musik dramatis untuk menarik paksa perhatian penonton; semua dibiarkan mengalir (seperti saat Do-hoon memperlihatkan kaki palsunya pada Tina sambil bercanda, menunjukkan pada penonton untuk pertama kalinya karakteristik fisik khusus yang dimilikinya).

J-yong juga memotret banyak sisi-sisi Korea yang mungkin jarang terlihat dalam produk kultur pop, seperti banyaknya anak-anak blasteran Korea-Amerika dan Korea-Filipina (termasuk yang berkulit hitam atau menjadi tentara), komunitas imigran dari Afrika dan Filipina, dan fenomena "Kapino", yaitu anak hasil hubungan gelap antara pria Korea dan wanita Filipina yang kerap diabaikan ketika si pria harus kembali ke kehidupan sosialnya yang semula. Kesenjangan generasi dan semakin sedikitnya generasi baru Korea yang bersedia merawat orang tuanya ditunjukkan dalam adegan menyayat hati ketika So-young merawat mantan pelanggannya yang terkena stroke, tetapi malah dicurigai oleh anak dan menantu pria ini sebagai wanita haus uang (padahal anak dan menantu inilah yang menelantarkan sang ayah sementara mereka menikmati hidup sukses di Amerika).

Tema yang seharusnya muram dalam film ini justru kebanyakan dibingkai oleh atmosfer cerah dan indah, dengan banyak adegan luar ruangan yang memotret suasana musim gugur. Taman yang rimbun, suasana kota yang dinamis, serta wahana bermain yang ceria seolah mencerminkan paradoks antara citra kemajuan Korea Selatan dan nasib para kaum manulanya. Dialog penuh humor gelap dan ironi puitis, macam "Berapa musim gugur lagi yang bisa kita lihat?" yang keluar dari mulut So-young saat bernostalgia bersama teman lamanya semakin menguatkan paradoks film ini.

Salah satu karakter dalam film ini adalah seorang sutradara muda yang mengikuti So-young dengan menyamar menjadi pelanggan. Ketika So-young mengetahui niatnya yang sebenarnya, dia marah dan mengusir pemuda itu (dan sungguh, adegan ini membuat alasan si pemuda untuk "mengungkap penderitaan para lansia yang terpaksa melacur" menjadi terdengar munafik). Tetapi, ketika mereka bertemu lagi, So-young akhirnya bersedia untuk diwawancarai, mungkin sebagai cara untuk meninggalkan "jejak" di dunia ketika ia menyadari hidupnya mungkin tidak akan lama. Ironis, karena seperti yang terlihat dalam video singkat ini, si sutradara sudah pasti akan menutupi identitas So-young, dan dia tidak akan dikenali kecuali mungkin oleh orang-orang terdekatnya (yang dalam hal ini, sama-sama termasuk dalam golongan yang termarginalkan dalam ekonomi Korea).

The Bacchus Lady bukan dokumenter, bukan juga sebuah seruan moral untuk mengorek rasa bersalah kolektif dalam diri kaum yang lebih berpunya. Akting para karakternya yang bersahaja tidak meminta belas kasihan, tidak mendramatisir, dan menolak jatuh ke dalam sentimentalisme. Kisah menyentuh dari sudut pandang "generasi terlupakan" di sini dibawakan dengan jujur, penuh harga diri, dan dibumbui jenis humor menggigit yang hanya bisa dilontarkan oleh mereka yang menjalani hidup keras dengan gagah berani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?